Dua pegawai menanti datangnya pembeli di sebuah pom bensin di Jakarta, Jakarta, Minggu (1/11). (ANTARA/Rosa Panggabean)Jakarta (ANTARA News) - Awal Oktober nanti pemerintah berencana menerapkan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi terhadap kendaraan keluaran tahun 2005 ke atas.
Meski kebijakan itu masih menjadi wacana, kepada ANTARA News, sejumlah operator lapangan di berbagai SPBU mempertanyakan indikator verifikasi bahwa sebuah kendaraan layak atau tidak layak menerima BBM bersubsidi, apakah dengan menunjukkan STNK (surat tanda nomor kendaraan bermotor) atau lainnya.
"Petugas kami bisa saja menyuruh memperlihatkan STNK tapi bagaimana dengan masyarakat? Apakah mereka akan mengerti? Terlebih jika mengalami antrian panjang ketika jam-jam orang masuk kerja," ujar Agung Sanyoto, manager sebuah SPBU JL. Abdul Muis, Jakarta Pusat.
Agung mengaku telah mengetahui wacana itu sejak awal puasa lalu, tapi belum mendapat keterangan resmi dari manajemen sehingga tidak berani mengambil tindakan lebih lajut.
Dia mengusulkan kepada pemerintah untuk menguji terlebih dahulu kendaraan mana yang layak mendapatkan BBM bersubsidi.
"Mungkin ketika memperpanjang STNK ditempelkan stiker 'layak disubsidi' sehingga petugas SPBU mudah mengenali tanpa perlu memperlihatkan STNK," katanya.
Lain lagi dengan Rony Abdul Aziz, manajer SPBU Jl. Gereja Theresia, Jakarta Pusat. Dia mengaku akan mengikuti ketentuan itu begitu ditetapkan operasional oleh pemerintah.
"Mau bagaimana lagi jika itu keputusannya? Ya laksanakan saja, mungkin awal-awalnya sulit," katanya.
Suara Rony berbeda dengan pendapat para petugas lapangan di SPBU-SPBU yang umumnya kebingungan dan rikuh jika harus menanyakan dokumen-dokumen berkendara yang selama ini ditanyakan polisi kepada para pemilik kendaraan bermotor.
"Ya
ribet saja harus memeriksa STNK satu-satu, apalagi jika mengalami antrian panjang, sedangkan kami seorang petugas dituntut memberikan pelayanan yang memuaskan dan cepat," kata Andri Muhadi, petugas SPBU Jl. Abdul Muis.
Mikron Wijaya, rekan kerja Andri, menimpali, "Bagaimana kalau penumpang bilang begini, 'ini mobil-mobil saya,
ngapain diperiksa-periksa?' Yang jelas sungkan dan tidak biasa saja."
Pendapat Mikron diamini oleh para pemilik kendaraan bermotor, diantaranya Edy Waluya dan Wahyu yang tengah antri mengisi BBM di sebuah SPBU di Jakarta Pusat.
"Saya tidak setuju dan
ribet jika harus menunjukan STNK, pemerintah harus mencari alternatif lain selain STNK," kata Wahyu, seorang pegawai BUMN.
Edy, yang tengah mengisi BBM untuk kendaraannya di SPBU Gereja Theresia, memperkuat pendapat Wahyu dengan berkata, "Saya tidak setuju jika harus memperlihatkan STNK karena membuat waktu lebih lama, ditambah kondisi jalanan Jakarta yang macet."
Sejumlah pemilik kendaraan mengungkapkan keluhan lain, yang intinya mengkritik kebijakan yang dinilai mereka diskriminatif. Diantara yang menyebut ini adalah Didi Suhandi, seorang karyawan swasta di satu kantor di Jakarta Pusat.
"Pemerintah harus jelas. Mengapa hanya kendaraan di atas tahun 2005? Bukannya dibawah tahun itu banyak juga mobil-mobil mewah?" katanya sengit.
Pemerintah mungkin tidak akan menggunakan mekanisme dengan memeriksa STNIK, karena bisa saja pemerintah memiliki cara lain yang mungkin jauh lebih maju dari itu.
Yang jelas, suara-suara di lapangan di tempat-tempat pengisian bensin di atas tak bisa diabaikan, karena sebuah kebijakan seharusnya tidak menciptakan kesulitan baru. (*)
Adam Rizal
Sumber : www.antaranews.com