Sunday, November 27, 2011

Hujan - Cerpen


            Rintik-rintik hujan mulai berjatuhan membasahi jalanan, pepohonan mulai menari seiring semilir angin yang menerpa. Namaku Dira, umurku 20 tahun. Kala itu, saat aku dalam perjalanan pulang... Aku terjebak oleh hujan yang deras mengguyur saat itu, sehingga memaksaku untuk berteduh di salah satu pertokoan di pinggir jalan. Sore itu aku menunggu angkot yang tak kunjung datang menghampiri. Satu jam aku menunggu, angkot yang kutunggu pun tiba... Namun, ketika selangkah lagi aku akan masuk ke dalam angkot, tiba-tiba ada sebuah motor yang menghalangi jalanku. Aku bertanya-tanya dalam hati, siapakah pengendara motor yang menghalangi jalanku. Akupun terlanjur kesal dan memaki-maki pengendara motor tersebut.
            “Heh, mau kamu apa sih? Mau nabrak aku ya? Sengaja ya? Aku mau masuk ke dalam angkot tau!!!”, ucapku dengan tak sabar. Pengendara motor itu pun membuka helm yang ia pakai. Tak kusangka pengendara motor itu ternyata adalah teman lamaku, Azaret. “Ya ampun... Zaret, ihhh kamu tuh ya... bikin aku kesel aja”, ucapku sambil memukul pelan lengan Azaret. “Maaf maaf, tadinya aku mau manggil kamu... karena kamu udah mau naik angkot ya akhirnya kucegat aja deh hehehe”, kata Azaret sambil nyengir kuda. ”Ngomong maaf sih gampang, tapi kamu udah bikin aku kaget setengah mati tau nggak?! Maaf, aku pulang duluan ya...”, kataku. Akupun segera pergi tanpa mendengar satu katapun darinya.
          Dua hari kemudian aku mendapat sms dari salah satu teman lamaku, dia memberitahukan bahwa malam minggu nanti akan diadakan reunian di Cafe De Javu. Beberapa menit kemudian ada sms masuk lagi, namun aku tak tahu siapa pengirimnya. Aku segera membalas sms tersebut. Setelah lima menit berlalu, balasan sms itu pun masuk ke handphone ku. Ternyata sms itu dari Azaret, dia mengajakku berangkat bareng ke acara reunian malam minggu nanti. Katanya dia akan menjemputku ke rumah. Tanpa pikir panjang aku segera menerima ajakan tersebut karena jujur saja aku benar-benar tidak tahu dimana lokasi cafe itu.
            Malam minggunya...
            “Hai Ret, sudah lama menunggu ya? Maaf ya lama”, ucapku dengan tersipu malu. “Oh, nggak kok Ra.. Baru lima menit yang lalu aku sampai. Yuk kita berangkat, biar sampai disana tepat waktu”, kata Azaret dengan ramah. “Oke, yuk”, jawabku riang. Malam itu aku merasa penampilan Azaret agak berbeda dari biasanya. Penampilan yang biasanya hanya menggunakan kaus, jaket dan celana jeans sekarang berubah menggunakan kemeja agak formal dan celana jeans. Tapi hal itu tidak aku ambil pusing. Satu jam kemudian kami pun sampai di tempat tujuan, Cafe De Javu.
            Malam mulai menunjukkan pukul 22.30, aku pamit pulang duluan ke semua teman-temanku karena sebelum aku pergi tadi ibu berpesan supaya aku tidak pulang terlalu larut. Saat aku keluar dari pintu cafe tiba-tiba Azaret teriak memanggilku, “Ra....”. “Iya, kenapa Ret?”, tanyaku heran. “Kamu pulang bareng aku aja ya, nggak baik cewek pulang sendirian malam-malam begini”, ujarnya. “Nggak apa-apa nih? Aku nggak mau ngerepotin kamu...”, jelasku. “Nggak apa-apa kok, yuk”. Aku segera naik ke motor Azaret dan motornya  segera melaju dengan kecepatan tinggi menembus kesunyian malam.
            Sesampainya di rumah...
            “Makasih ya Ret, maaf jadi ngerepotin terus hehe”, kataku sambil tersenyum. “Iya sama-sama Ra... oh iya, ngomong-ngomong kamu pernah nemu surat nggak di salah satu buku catatanmu dulu?”, ucap Azaret dengan nada sedikit gugup. Aku mencoba mengingat-ingat selama beberapa saat, namun apalah daya. “Wah, nggak ingat tuh Ret, hehehe”, aku tersipu malu mengatakannya. Azaret yang tadinya sedikit gugup akhirnya lega mendengar jawaban itu. Karena surat yang pernah ia selipkan di salah satu buku catatan Dira itu semua isinya tentang ungkapan perasaan Azaret kepada Dira. “Emang isinya apaan ya Ret?”, dengan penuh rasa penasaran aku bertanya. “Eh nggak kok bukan apa-apa.. Ra, aku pulang ya.. udah larut banget nih, nggak enak sama orang tua kamu”, Azaret mencoba ngeles dan mengalihkan pembicaraan. “Hmm oke deh, makasih ya Ret.. Hati-hati di jalan”, kata Dira sambil melambaikan tangan. Azaret hanya mengangguk dan tersenyum manis kepada Dira. Lalu dia segera melaju dengan kecepatan tinggi.
            Tak lama kemudian hujan turun perlahan namun menjanjikan waktu yang lama untuk berhenti. Dira masuk ke rumah dan bersiap-siap untuk istirahat. Tapi dia penasaran sama apa yang tadi Azaret katakan. Dira pun mencoba mengingat-ingat kembali dimana ia menaruh buku catatan itu. Ya, dia ingat mengenai buku catatan itu ketika dikembalikan. Namun buku tersebut terkena hujan sewaktu pulang sekolah saat masih SMA. Karena buku catatan tersebut tak bisa terbaca lagi dan hampir hancur, akhirnya buku tersebut dibuangnya ke tempat sampah. Kejadian itu juga terjadi sudah lebih dari 2 tahun silam. Timbul rasa penasaran akan isi dari surat yang diselipkan Azaret.
            Keesokan paginya, Dira meminta Azaret untuk bertemu di taman komplek dekat rumahnya. “Hai Ra”, sapa Azaret yang baru datang. “Akhirnya datang juga…”, jawab Dira. “Wah kamu udah lama nunggu ya? Maaf ya…”, ucap Azaret. “ Hmm 5 menitan lah… nggak apa-apa kok”, jawab Dira sambil tersenyum. “Ada apa nih? Tumben kamu ngajak ketemuan pagi-pagi gini…”, kata Azaret. “Gini Ret, aku tuh penasaran sama surat yang kamu selipin di buku catatan aku dulu”, Dira berkata dengan bersemangat. Seketika Azaret mulai agak panik, namun tak terlihat sedikitpun di wajah tampannya itu dan ia mulai berbohong, “Oh itu… Nggak penting kok, cuma puisi jenaka aja”. Dengan tatapan yang tidak percaya, Dira berkata, “Jangan bohong ya… Aku udah kenal kamu tuh lama loh”. Azaret makin gugup dibuatnya sehingga ia mencoba mengelak, “Yah nggak percayaan banget sih… coba waktu dulu udah kamu baca, pasti percaya deh”. Kecurigaan Dira sedikit berkurang, akan tetapi dia masih penasaran juga, “Coba kamu bacain puisi itu buat aku… pasti kamu masih ingat dong?”. Rasa panik, grogi, gelisah, semuanya bercampur menjadi satu sampai Azaret tak tahu lagi harus berkata apa. Azaret hanya bisa terdiam ketika ditanya. “Kok kamu diam aja sih?”, tanya Dira. “Ah eng.. nggak kok, hmm aku cuma lupa aja Ra, udah lama sih hehehe”, jawab Azaret sekenanya. “Yah, aku kan penasaran banget”, ujar Dira. “Maaf deh Ra”, kata Azaret dengan berat hati.
            Seketika hujan pun turun kembali. Tak hanya hujan di bumi, tetapi hujan pula di hati Azaret saat itu. Lebih tepatnya hujan penyesalan, ia sungguh menyesal karena telah berbohong kepada Dira. Tapi yang lebih disesalkannya lagi, dia tak bisa menceritakan ke Dira mengenai kepindahannya ke Itali 2 hari lagi. Memang, Azaret tak tahu pasti apakah dia dianggap sahabat atau hanya teman biasa oleh Dira. Yang dia tahu, hanya dia teman laki-laki yang paling dekat dengan Dira. Akhirnya Azaret memutuskan untuk tidak menceritakannya kepada Dira dan hanya menceritakan semuanya lewat surat yang akan ia kirimkan begitu sampai di Itali.
            Dua hari berlalu dan Azaret telah sampai di Itali. Sesampainya disana ia langsung menulis surat dan segera mengirimkannya ke rumah Dira. Keesokan harinya, surat itu telah sampai ke tangan Dira. Dira merasa heran, kenapa Azaret mengirimkan surat kepadanya. Padahal Dira piker Azaret bisa menelpon, mengirim sms ataupun datang menemuinya. Tanpa buang waktu Dira segera membaca surat tersebut.

                                                                                                                                           Itali, 03 Desember 2010

          Ra, Maaf sebelumnya aku nggak cerita ke kamu. Sekarang aku udah pindah ke Itali. Aku harus ikut orang tuaku kesini. Mungkin kamu marah karena aku nggak cerita, tapi bukan maksudku kayak begini. Semua ini mendadak dan aku nggak bisa menolaknya. Aku nggak tahu berapa lama aku disini, nggak pasti. Entah hanya sebentar ataukah selamanya, tergantung keputusan orang tuaku. Jangan kangen aku ya hehehe...
          Aku mau jujur sama kamu, tapi janji kamu jangan marah ya… Kemarin pas kamu nanya tentang isi suratku dulu, sebenarnya isi dari surat itu bukan puisi jenaka melainkan ungkapan perasaan aku ke kamu. Awalnya kukira mungkin ini hanya sekedar suka, tapi anehnya aku merasakan hal ini sampai sekarang. Aku nggak berani bilang ke kamu, takutnya kalau kamu tahu yang ada kamu malah ngejauhin aku. Jujur aku nggak sanggup jauh dari kamu. Aku terima kalau memang aku hanya dianggap sahabat atau hanya sekedar teman biasa, aku ikhlas menerimanya kok.
          Huh… lega rasanya abis ngungkapin ini semua ke kamu. Kuharap setelah kamu membaca surat ini kamu nggak marah atau bahkan benci sama aku. Biarlah rasa ini kupendam sendiri… biar hujan yang menyampaikan rasaku ini padamu, dan waktu yang akan menjawab semuanya. Hujan telah menjadi saksi bisu atas memori indahku bersamamu, karena tiap kita lagi bersama pasti sering hujan. Makanya aku suka banget sama hujan. Karena hanya saat hujanlah aku dapat merasakan memori kita terulang kembali. Dan hujan pula yang menyatukan kita. Tenang aja, aku nggak butuh jawaban kamu kok, Ra. Aku cuma mau ngasih tahu kamu tentang semua ini. Makasih ya kamu udah mau jadi temen deket aku, udah mau ngisi memori indahku selama ini. Aku nggak akan pernah lupain ini semua, makasiiiiihh banget… Mungkin lain kali kita akan ketemu lagi, Ra.

                                                                                                                                               Salam hangat,

                                                                                                                                                    Azaret

            Setelah membaca surat tersebut, tanpa disadari air mata Dira menetes. Ia bertanya-tanya dalam hati, kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa harus ada rasa suka? Kenapa harus Azaret? Kenapa bukan orang lain aja? Padahal Dira sudah menganggap Azaret sahabatnya, bahkan sudah seperti kakak untuknya. Muncul berbagai macam pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawaban. Dira pun pusing memikirkan semua ini, ia tak tahu harus berbuat apa. Tempat curhatnya hanyalah Azaret. Tapi sekarang dia tak ada, lalu siapa lagi? Kebingungan datang melanda Dira. Namun dia tak mau mengambil pusing akan semua permasalahan ini.
            Tiba-tiba hujan turun, seakan menjawab semua pertanyaan Dira. Sejenak ia merenung memikirkan semua ini. Ia pun membaca surat itu sekali lagi. Lalu Dira tersenyum, karena ia telah mendapat semua jawaban yang dia cari. Kepada siapa dia akan bercerita? Ya, hujanlah jawabannya.


TAMAT